Sunday 24 February 2013

Mengenal Skizofrenia

Apakah Skizofrenia itu?

Mengenal Skizofrenia
Mengenal Skizofrenia
Skizofrenia adalah gangguan jiwa yang termasuk dalam kelompok gangguan neurokognitif di mana terjadi gangguan dalam proses pikir dan persepsi. Dalam sejarahnya oleh Emil Kraepelin pada awal tahun 1900, gangguan ini diistilahkan sebagai “dementia praecox” yaitu suatu kondisi menyerupai demensia dengan gangguan yang menonjol pada kognisi yang terjadi sebelum waktunya karena banyak mengenai orang-orang usia muda. Pada tahun 1911, oleh Alfred Bleuler, istilah tersebut kemudian digantikan dengan “skizofrenia” yang ditandai dengan empat gejala A yang menonjol (Asosiasi yang abnormal, gangguan Afek, Autisme, dan Ambivalensi). Seseorang dikatakan menderita skizofrenia jika gejala-gejala skizofrenia sudah dialami sekitar sekurangnya 1 bulan dan gejala menetap sekurangnya selama 6 bulan. Jika kurang dari itu maka orang tersebut dikatakan menderita psikotik akut atau lir-skizofrenia. Jumlah penderita skizofrenia adalah sekitar 1% dari total populasi dunia. Sedangkan di Amerika diketahui bahwa setiap satu dari seratus orang penduduk berisiko untuk menderita skizofrenia. Sebuah angka yang besar namun dari jumlah tersebut, hanya sebagian kecil yang mendapatkan perawatan dan tatalaksana yang tepat. Jumlah pasti penderitanya di Indonesia, belum diketahui hingga sekarang. Pada pria, onset gangguan ini umumnya bermula pada usia awal dua puluhan sedangkan pada wanita bermula pada akhir tiga puluhan. Sedangkan jumlah penderitanya sendiri seimbang pada kelompok pria dan wanita. Juga tidak ditemukan perbedaan dalam kelompok ras yang berbeda-beda. Hingga saat ini terdapat lima subtipe skizofrenia menurut klasifikasinya, pembagian kelompok klasifikasi ini didasarkan atas gejala yang dominan secara klinis. Lima subtipe tersebut adalah skizofrenia paranoid, skizofrenia hebefrenik, skizofrenia katatonik, skizofrenia tak terinci, skizofrenia residual. Masing-masing dari tipe akan kita bahas lebih lanjut pada bagian gambaran klinis skizofrenia.

Penyebab timbulnya Skizofrenia

Terdapat beberapa teori yang menjelaskan awal timbulnya skizofrenia. Secara biologis dikatakan bahwa skizofrenia mungkin timbul akibat keabnormalan dalam perkembangan struktur otak. Hal ini terutama disebabkan akibat komplikasi yang dialami ibu selama masa kehamilan dan beberapa gangguan neurologis bawaan. Skizofrenia juga berkaitan dengan faktor kecukupan gizi ibu pada masa kehamilan, beberapa penelitian terdahulu menunjukan bahwa seorang anak yang dilahirkan dari ibu dengan gizi buruk pada masa kehamilan memiliki kemungkinan menderita skizofrenia dua kali lipat lebih tinggi. Teori kedua dari kelompok biologis adalah hipotesis dopamin yang mengatakan bahwa skizofrenia terjadi akibat ketidakseimbangan kadar neurotransmitter dopamin di otak. Penelitian yang diadakan pada penderita skizofrenia menunjukan bahwa kadar dopamin ternyata berlebihan di daerah mesolimbik yang mengatur emosi. Akibat tingginya kadar dopamin pada daerah tersebut menyebabkan timbulnya gejala-gejala positif skizofrenia, yaitu kumpulan gejala yang berlebihan dibandingkan orang normal seperti waham dan halusinasi. Saat ini dengan semakin majunya ilmu pengetahuan dan penelitian mengenai otak dan struktur-strukturnya, diketahui bahwa selain dopamin, beberapa neurotransmiter lain ikut berperanan dalam gejala-gejala yang muncul pad skizofrenia, di antaranya serotonin, norepinephrine, dan GABA. Teori terakhir tentang skizofrenia menunjukan bahwa gangguan jiwa ini dapat diturunkan secara genetik. Keluarga generasi pertama dari penderita skizofrenia memiliki kemungkinan sepuluh kali lipat lebih besar untuk menderita gangguan yang sama. Sedangkan pada keluarga generasi kedua dan ketiga, kemungkinan ini berkurang jauh. Pada anak kembar satu telur, kemungkinan bahwa anak kedua menderita skizofrenia setelah salah satunya menderita skizofrenia adalah sekitar 50 persen. Sedangkan pada anak kembar yang berasal dari dua telur, kemungkinan ini berkurang jauh sekali.

Peranan keluarga dalam timbulnya Skizofrenia

Penelitian terdahulu dari skizofrenia menunjukan bagaimana keluarga sangat berperanan dalam memicu timbulnya skizofrenia. Pola relasi interpersonal yang buruk antara ibu dan anak pada masa kecil akan memperbesar kemungkinan seorang anak untuk menderita skizofrenia pada usia dewasanya. Pola asuh yang buruk akan menghasilkan kepercayaan diri yang rendah dari anak sehingga pada masa dewasanya ketika menghadapi masalah, ia akan lebih senang untuk masuk ke dunia khayalannya dibandingkan menghadapi kenyataan. Menurut Theodore Lidz, terdapat dua pola keluarga yang abnormal pada skizofrenia. Pada tipe keluarga pertama, jelas terdapat perpecahan pola asuh di antara kedua orang tua yaitu salah satu orang tua terlalu dekat dengan anak yang berasal dari gender yang berbeda. Sedangkan pada tipe keluarga kedua, hubungan yang buruk antara anak dan salah satu orang tua melibatkan power struggle antara kedua orang tua dan berakhir dengan dominansi salah satu orang tua. Kedua pola keluarga tersebut akan menghasilkan anak dengan kapasitas adaptasi yang buruk terhadap dunia di sekitarnya. Penelitian lain menujukan keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi meningkatkan kemungkinan seseorang menderita skizofrenia. Pada pasien-pasien dengan skizofrenia, kemungkinan untuk mengalami kekambuhan gejala amat besar jika ia memiliki keluarga dengan ekspresi emosi yang tinggi. Ekspresi emosi yang tinggi ini di antaranya kritik, hostilitas, dan perilaku ikut campur yang berlebihan. Ekspresi emosi bukan hanya melibatkan bahasa verbal yang dikatakan saja melainkan juga sikap bagaimana hal tersebut dikatakan.

Kriteria diagnostik

Berdasarkan atas kriteria diagnostik yang tercantum dalam DSM IV-TR, maka seseorang dikatakan menderita skizofrenia bila mengalami dua atau lebih gejala berikut yang telah berlangsung selama sekurangnya satu bulan lamanya :

  1. Waham/delusi : gangguan isi pikir berupa suatu keyakinan yang salah, tidak sesuai realita, tidak dapat dikoreksi, dan tidak sesuai dengan latar belakang sosial dan budaya dari pasien.
  2. Halusinasi : gangguan persepsi di mana respon muncul tanpa adanya sumber stimulus dari lima panca indera. Halusinasi dapat berupa halusinasi pendengaran, halusinasi penglihatan, halusinasi pengecapan, halusinasi perabaan, halusinasi penghiduan.
  3. Pembicaraan kacau : merupakan gangguan pada proses pikir, derajatnya bervariasi dari gangguan ringan seperti derailment hingga kondisi berat berupa inkoherensia di mana kata-kata pasien tidak dapat dimengerti lagi sepenuhnya.
  4. Perilaku kacau atau perilaku katatonik
  5. Gejala negatif seperti afek yang terganggu, ketiadaan pembicaraan, ketiadaan gerakan, sikap menarik diri berlebihan, dll.

Kriteria tersebut dapat ditegakan bila hanya ditemukan waham yang bersifat bizare (aneh) atau halusinasi pendengaran berupa suara yang terus-menerus berkomentar atau menyuruh-nyuruh pasien, atau suara-suara yang bercakap-cakap di antara mereka sendiri. Selain itu harus ditemukan pula gangguan yang jelas pada fungsi sosial dan pekerjaan. Masa awal kondisi ini dapat berlangsung beberapa bulan hingga tahunan dengan perilaku menarik diri yang sangat menonjol atau perubahan pada perilaku dan emosi. Kemungkinan kondisi organik, penyalahgunaan zat, dan gangguan mood harus sudah disingkirkan.

Subtipe Skizofrenia

Saat ini dikenal lima subtipe skizofrenia yang dibagi dalam kelas-kelas yang berbeda berdasarkan gejala klinis yang menonjol. Kelima subtipe tersebut adalah:

Skizofrenia Paranoid

Gejala dominan berupa waham atau delusi dan halusinasi pendengaran. Waham biasanya berjenis waham kejar (misalnya yakin bahwa orang –orang di sekitarnya mau menjahati dirinya) atau waham kebesaran (misalnya yakin bahwa dirinya adalah orang pilihan Tuhan yang memiliki suatu kekuatan khusus). Halusinasi berupa suara orang yang menyuruh-nyuruh, berkomentar, atau bercakap-cakap sendiri.

Skizofrenia Hebefrenik

Gejala yang menonjol berupa pembicaraan kacau, perilaku kacau, dan afek yang mendatar atau menumpul. Pembicaraan kacau dapat berupa asosiasi longgar (contoh : tadi pagi saya makan tempat tidur ada sapi makan rumput) hingga inkoherensia (contoh : kambing gerak-gerak hitam matahari ditilang). Perilaku kacau misalkan seperti mengumpulkan bungkus makanan dan ditimbun di bawah tempat tidur. Sedangkan afek yang menumpul dinilai dari modulasi gerakan wajah dan perilaku yang disesuaikan dengan isi pembicaraan yang dibicarakan pasien.

Skizofrenia Katatonik

Tipe skizofrenia yang ditandai dengan sekurangnya dua gejala berikut : ketiadaan gerak, pergerakan berlebihan tanpa tujuan dan tidak dipengaruhi oleh stimulus eksternal, sikap melawan berlebihan untuk bergerak ketika diberikan perintah atau postur kaku yang dipertahankan dan tidak bisa digerakan oleh orang lain, postur tubuh yang dipertahankan aneh, ekolalia atau ekopraksia.

Skizofrenia Tak Terinci

Skizofrenia yang memenuhi kriteria diagnostik skizofrenia namun tidak memenuhi kriteria diagnostik subtipe paranoid, hebefrenik, ataupun katatonik.

Skizofrenia Residual

Tipe skizofrenia yang ditandai dengan hilangnya waham, halusinasi, pembicaraan kacau, dan perilaku kacau atau katatonik yang menonjol. Namun ditemukan bahwa gangguan tetap berlangsung yang diindikasikan dengan munculnya gejala negatif.

Tatalaksana

Hingga saat ini, tatalaksana untuk penderita skizofrenia masih amat mengandalkan penggunaan obat-obat antipsikotik untuk mengendalikan gejala yang muncul terutama kelompok gejala positif. Seseorang yang menderita skizofrenia dan tidak mendapatkan terapi hingga bertahun-tahun umumnya akan mengalami kemunduran yang sifatnya progresif dalam fungsi sosial dan pekerjaan. Berdasarkan penelitian yang ada, kondisi skizofrenia yang dibiarkan menahun akan menyebabkan kerusakan struktur otak yang tidak dapat diperbaiki akibat tingginya aktivitas dopamin di otak. Penelitian akhir-akhir ini menunjukan bahwa intervensi psikososial juga penting dalam terapi skizofrenia. Intervensi psikososial yang umum dilakukan adalah psikoterapi yang dilakukan pada pasien maupun keluarga dan rehabilitasi mental. Tantangan terhadap tatalaksana untuk gangguan ini sendiri masih sangat besar di Indonesia. Kultur budaya masyarakat yang masih begitu kuat mempercayai hal-hal gaib menyebabkan banyaknya pasien yang seharusnya mendapatkan tatalaksana medis yang benar malah dibawa oleh keluarga berobat ke orang-orang pintar. Ketika akhirnya mendapakan pengobatan yang medis yang benar, kerusakan struktur otak dari pasien umumnya sudah cukup parah dan respon terhadap pengobatan menjadi buruk karena terlanjur sangat besarnya jumlah dopamin yang beredar di sistem saraf. Stigma yang melekat pada pasien, keluarga pasien, dan para praktisi medis yang terlibat dalam penatalaksanaan gangguan ini juga amat sangat mempengaruhi kesuksesan penatalaksanaan. Dalam kenyataannya banyak keluarga yang lebih senang menyembunyikan pasien dari orang lain dibandingkan membawa pasien untuk berobat.